Definisi
bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah
Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada
padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006).
Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang
mengganggu orang yang lemah.
Beberapa
istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat
untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan,
penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi
(Susanti, 2006).
Suatu
hal yang alamiah bila memandang bullying sebagai suatu kejahatan,
dikarenakan oleh unsur-unsur yang ada di dalam bullying itu sendiri.
Rigby (2003:51) menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian
bullying yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif,
ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar
penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa
tertekan di pihak korban.
Pengertian
tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa
bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;
- Ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power). Bullying bukan persaingan antara saudara kandung, bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara. Pelaku bullying bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara verbal, lebih tinggi secara status sosial, atau berasal dari ras yang berbeda;
- Keinginan untuk mencederai (desire to hurt). Dalam bullying tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan korban. Bullying berarti menyebabkan kepedihan emosional atau luka fisik, melibatkan tindakan yang dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang di hati sang pelaku saat menyaksikan penderitaan korbannya;
- Ancaman agresi lebih lanjut. Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali saja, tapi juga repetitif atau cenderung diulangi;
- Teror. Unsur keempat ini muncul ketika ekskalasi bullying semakin meningkat. Bullying adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Teror bukan hanya sebuah cara untuk mencapai bullying tapi juga sebagai tujuan bullying.
Bullying
juga dikenal sebagai masalah sosial yang terutama ditemukan di kalangan
anak-anak sekolah. Dalam bahasa pergaulan kita sering mendengar istilah
gencet-gencetan atau juga senioritas. Meskipun tidak mewakili suatu
tindakan kriminal, bullying dapat menimbulkan efek negatif tinggi yang
dengan jelas membuatnya menjadi salah satu bentuk perilaku agresif
(Duncan, 1999). Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai
bullying. Seperti pendapat Olweus (1993) dalam pikiran rakyat, 5 Juli
2007: “Bullying can consist of any action that is used to hurt another
child repeatedly and without cause”. Bullying merupakan perilaku yang
ditujukan untuk melukai siswa lain secara terus-menerus dan tanpa sebab.
Rigby
(2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa “bullying” merupakan sebuah
hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi,
menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh
seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuar, tidak bertanggung
jawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang (Retno
Astuti, 2008: 3).
Beberapa
ahli meragukan pengertian-pengertian di atas bahwa bullying hanya
sekedar keinginan untuk menyakiti orang lain, mereka memandang bahwa
“keinginan untuk menyakiti seseorang” dan “benar-be nar menyakiti
seseorang” merupakan dua hal yang jelas berbeda. Oleh karena itu para
psikolog behavioral menambahkan bahwa bullying merupakan sesuatu yang
dilakukan bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk
menyakiti orang lain dalam bullying selalu diikuti oleh tindakan
negatif.
Olweus
(1993; dalam Anesty, 2009) mengemukakan bahwa dalam formulasi awal
mengenai definisi bullying, bullying merupakan “… negative actions on
the part of one or more other students’. Olweus (1993) juga menambahkan
bahwa bullying terbukti saat sulit bagi siswa yang menjadi korban
bullying untuk mempertahankan diri. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan Craig dan Pepler (1998), yang mengartikan bullying sebagai
"tindakan negatif secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap
permusuhan, sehingga menimbulkan distress bagi korbannya, berulang dalam
kurun waktu tertentu dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku
dan korbannya.”
Olweus (1993; dalam Anesty, 2009) memaparkan contoh tindakan negatif yang termasuk dalam bullying antara lain;
- Mengatakan hal yang tidak menyenangkan atau memanggil seseorang dengan julukan yang buruk;
- Mengabaikan atau mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena suatu tujuan;
- Memukul, menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik;
- Mengatakan kebohongan atau rumor yang keliru mengenai seseorang atau membuat siswa lain tidak menyukai seseorang dan hal-hal semacamnya.
Unsur
ketidakseimbangan kekuatan dari bullying juga diperdebatkan sebagai
sesuatu yang terikat secara situasional (Rigby, 2002:34). Karena
ketidakseimbangan kekuatan sewaktu-waktu bisa saja berubah saat korban
memperoleh keterampilan untuk mempertahankan diri dan pelaku kehilangan
para pendukungnya. Olweus (1993) memberikan klarifikasi untuk unsur ini,
yakni dengan menuliskan bahwa “ It’is not bullying when two student of
about the sa me strange or power argue or fight.” Pengertian tersebut
sangat membantu dalam menetapkan konteks dari ketidakseimbangan kekuatan
yang terdapat dalam bullying. Ketidakseimbangan kekuatan yang nyata
terlihat saat beberapa bentuk bullying terjadi, seperti pengucilan,
penyebaran rumor, dan sarkasme yang menyakitkan dari sekelompok orang
terhadap satu orang. Oleh karena itu, ketidakseimbangan kekuatan dalam
bullying merupakan hal yang nyata apabila ketidakseimbangan itu sendiri
terikat oleh suatu konteks dan mengalir atau berkelanjutan selama
periode waktu yang lama.
Meskipun
unsur-unsur yang membedakan bullying dari beragam bentuk kekerasan
lainnya sudah cukup jelas, namun masih muncul banyak pertanyaan tentang
bagaimana membedakan bullying dari agresi atau perilaku agresif. Untuk
membedakan antara bullying dan perilaku agresi terkadang nampak seperti
membelah sehelai rambut, sangat sulit. Berkowitz (1986; dalam Rigby
2002:30) mengartikan agresi sebagai perilaku menyakiti yang bertujuan
terhadap orang lain.
Rigby
(2002; dalam Anesty, 2009) menyatakan agresi merupakan situasi saat
seseorang memperoleh sesuatu dengan menggunakan kekuatan namun
dominansinya terhadap target atau korban merupakan hal yang insidental
dan tidak disengaja, sementara bullying merupakan situasi akhir yang
diinginkan dan dicapai melalui penggunaan kekuatan secara bertujuan
untuk menyakiti orang lain dan untuk menunjukkan dominansi seseorang
terhadap orang lain. hasil akhir dari bullying lebih dapat diprediksi
dibanding hasil akhir dari agresi.
Untuk
membedakan bullying dari agresi juga dapat dilihat dari seberapa sering
agresi tersebut terjadi. Karena beberapa ahli memandang bullying
sebagai agresi yang berulang Rigby (2002; dalam Anesty, 2009). Olweus
(1993; dalam Anesty, 2009) menulis bahwa bullying terjadi saat korban
mengalami tindakan negatif yang berulang dan terus-menerus; Besag (2005)
mengemukakan bahwa dalam bullying selalu ada serangan yang berulang.
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
bullying merupakan bentuk tindakan kekerasan yang repetitif, cenderung
diulang, dilakukan berkali-kali atau terus-menerus selama periode waktu
tertentu. Olweus (1993) menspesifikan ” repetition” dalam definisi
bullying di awal untuk mengecualikan insiden-insiden minor atau
kejadian-kejadian tidak serius yang kadang-kadang terjadi. Kendatipun
demikian, Olweus juga mengindikasikan bahwa hal serius tunggal ”di dalam
keadaan tertentu ” harus dianggap sebagai bullying.
Berdasarkan
studi kerjasama yang dilakukan Olweus dan Rolland (1970 dalam Rigby,
2002:32), diperoleh kesepakatan mengenai kriteria operasional. Agar
dapat disebut sebagai bullying, maka agresi atau bentuk kekerasan
lainnya harus terjadi sedikitnya sekali dalam seminggu atau lebih selama
periode waktu satu bulan. Dari pengertian yang telah dikemukakan, dapat
dilihat bahwa pada dasarnya bullying adalah suatu perilaku agresif yang
sengaja dilakukan dengan motif tertentu. Suatu perilaku agresif
dikategorikan sebagai bullying ketika perilaku tersebut telah menyentuh
aspek psikologis korban. Jadi, bullying ialah suatu perilaku sadar yang
dimaksudkan untuk menyakiti dan menciptakan terror bagi orang lain yang
lebih lemah.
Bullying
disebut perilaku sadar karena perilaku ini dilakukan secara berulang,
terorganisir dan memiliki tujuan yaitu untuk menciptakan teror bagi
korban.
Hal
ini didukung oleh pernyataan bahwa kebanyakan definisi bullying
dikategorikan sebagai suatu sub bagian dari perilaku agresif yang
melibatkan suatu maksud untuk menyakiti orang lain (Camodeca et al.
2003; Olweus 1978; Rivers & Smith, 1994; Smith & Thompson, 1991;
dalam Nuraini, 2006).
Bullying
disebut sebagai sub bagian dari perilaku agresif karena di dalamnya
melibatkan agresi atau serangan. Rivers dan Smith (1994, dalam Saripah,
2010) mengidentifikasi tiga tipe agresi yang termasuk dalam bullying:
Agresi fisik langsung, agresi verbal langsung, dan agresi tidak
langsung. Agresi langsung mencakup perilaku-perilaku yang jelas seperti
memukul, mendorong, dan menendang. Agresi verbal langsung mencakup
penyebutan nama dan ancaman. Agresi tidak langsung melibatkan
perilaku-perilaku seperti menyebarkan rumor dan menceritakan
cerita-cerita. Agresi langsung itu secara eksplisit diperlihatkan dari
agresor ke korban sedangkan agresi tidak langsung melibatkan pihak
ketiga.
Dodge
(1991; dalam Nuraini, 2006) memperkenalkan gagasan tentang dua tipe
agresi: agresi pro-aktif dan agresi reaktif. Agresi reaktif melibatkan
reaksi- reaksi marah dan defensif pada frustasi, sementara agresi
proaktif dicirikan dengan perilaku-perilaku yang diarahkan tujuan,
dominan, dan memaksa. Seorang individu yang menunjukan agresi proaktif
itu berdarah dingin dan akan menggunakan agresi untuk mencapai tujuannya
ini. Di sisi lain, agresor reaktif seringkali salah menafsirkan
tanda-tanda sosial dan menghubungkan maksud- maksud permusuhan dengan
teman-teman sebayanya. Kedua tipe agresi ini telah dihubungkan dengan
kekurangan atau kesalahan dalam pemerosesan informasi sosial.
Crick
dan Dodge (1999; dalam Nuraini, 2006) telah menerapkan agresi reaktif
dan proaktif pada fenomena bullying dan berhipotesa bahwa para pelaku
bullying akan memperlihatkan agresi proaktif sementara korbannya akan
memperlihatkan agresi reaktif secara dominan. Salmivaly dan Nieminen
(2002) memperlihatkan hasil-hasil penelitiannya bahwa pelaku–korban
bullying (individu yang berkali-kali menjadi pelaku bullying dan pada
kali lain sering menjadi korban bullying) menunjukan tingkatan agresi
paling tinggi (baik proaktif maupun reaktif) dibandingkan dengan
individu lain. Para pelaku bullying secara signifikan menunjukan
tingkatan-tingkatan agresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan para
korban.
Seseorang
yang bisa dikatakan menjadi korban bullying apabila dia diperlakukan
negatif dengan jangka waktu sekali atau berkali-kali bahkan sering atau
menjadi sebuah pola oleh seseorang atau lebih. Negatif di sini artinya
secara sengaja membuat luka atau ketidaknyamanan melalui kontak fisik,
melalui perkataan atau dengan cara lain.
Dari
berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan
serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang
dilakukan dalam posisi kekuatan yang secara situasional didefinisikan
untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk
awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara
fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal
itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu. Pelaku mengambil
keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang. Tindakannya
bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan dapat
merugikan korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar